Seharap Namun Tak Sejalan
Deru riang rerintikan hujan terjun bebas menghantam permukaan bumi. Aku menikmati raungan atap yang diserbu cucuran air hujan. Begitu menenangkan. Tabuhan orkestra dari mulut katak pun menambah indah suasana. Namun selang beberapa saat hatiku mendadak gundah gulana. Memikirkan tugas dari Bu Ratna, sang guru bahasa.
Tersingkap di memoriku untaian kata yang tak mampu aku ungkapkan. Aku hanya tergugu di balik pintu. Mengetukkan jemari ke kepalaku. Lantas bukan segera mendapat cahaya pencerahan malah segumpal titik hitam tak menyenangkan.
Akulah Cakrawala Mega, terlahir 13 tahun dari keluarga serba biasa. Ayahku pedagang pecal di pasar tradisional yang pandai menabuh gamelan. Sedangkan ibuku hanyalah istri yang bijaksana hingga mau membantu suaminya bekerja.
Aku tak tahu menahu kenapa orangtuaku memberi nama itu. Namun aku sungguh menyukainya terasa unik dibanding kebanyakan temanku.
“Kak Me..a” terdengar olehku suara anak kecil mengubah namaku. Aku menggerutu pilu. Antara benci dan rasa kasihan menyelimuti palung hatiku.
Dia memang terlahir berbeda dari anak seusia kebanyakannya. Dialah perusak kebahagiaan yang aku pupuk selama ini. Dahulunya ayah dan ibu mencurahkan penuh kasih sayangnya padaku, kini beralih arah pada adik kecilku itu.
Jujur tak seutuhnya aku membenci dia. Namun karena perlakuan kedua orangtuaku yang berbeda, tanpa aba-aba aku menanamkan benih kebencian di lubuk hatiku.
“Kak Me..a, ak..aku bi..sa men..ul..is” sepatah kata hanya itulah yang mampu dia ucapkan. Selain nada bicaranya yang lamban, ia juga tergagap ketika melontarkan sesuatu.
Ayah sengaja tak memasukkannya ke Sekolah Luar Biasa (SLB) dekat rumah disebabkan banyak faktor hal. Ibu tak berat hati mengajarkan pada Bayu, adikku itu cara berkomunikasi dan ilmu lain yang beliau peroleh dulu. Ibuku mantan guru SLB, berhenti bekerja setelah melahirkanku.
Aku mengacuhkan ucapan Bayu. Di otakku masih saja terngiang-ngiang oleh tugas yang Bu Ratna berikan. Sejujurnya tak begitu rumit untuk menjalankan. Tetapi saja kali ini Tuhan mengujiku dengan kosakata yang tak segera muncul di pikiranku. Selain itu terbersit pula rasa iri menyelubungi jiwaku. Rania, teman dekatku menceritakan bahwa adiknya baru memenangkan kontes fashion show di Mall daerahku. Betapa bahagianya dia.
“Kak Me..a, a, aku” Bayu mengulangi lagi perkataannya karena merasa tak ditanggapi.
“Ah Bayu kau menggangguku saja!” teriakku menggelegar. Dentum ganas air hujan disertai kilatan guntur yang menyambar membuat ucapan pelan menjadi tak terdengar.
Ibu tergopoh-gopoh menghampiri kami. Aku tau pasti akan mendapatkan wejangan panjang lebar. Bayu yang berdiri lunglai di ambang pintu menyeringai bahagia sebab ada yang membelanya. Hari ini penjualan pecal laris manis sehingga beliau sudah tiba di rumah.
“Kak Mega, dia hanya ingin menunjukkan kemampuan menulis puisinya. Ibu bangga sekali pada adikmu, dia anak yang cerdas.” begitu kata Ibu ketika aku membentaknya. Jujur, aku masih tak menerima kondisinya walau sudah delapan tahun hidup bersama.
“Hah bangga? Apa sih yang bisa ibu banggakan dari Bayu? Kalau Rania memuji adiknya wajar saja dia anak yang normal tidak seperti Bayu yang..” ucapanku terputus disela ibu. Beliau sangat tak suka aku mengatakan tentang keadannya walau semua itu memanglah fakta.
“Nak, ibu sudah berulangkali jangan berbicara seperti itu apalagi di hadapan Bayu, pasti ia sedih mendengar ucapanmu. Lihat dia sekarang pergi meninggalkan kita itu semua karena batinnya nestapa tertusuk hujaman jarum dalam kalimat yang baru saja kakak lontarkan,” ibu tertunduk pilu. Tak ada rasa malu sedikitpun membungkus kalbu ibu. Berbeda denganku yang masih saja enggan menerima keadaannya.
Aku memilin ujung rambutku yang tergerai indah. Batinku memberontak kapan sih ibu bisa mengertiku tanpa sehari saja membela Bayu. Ada rasa kasihan menggerayang, menyergap hatiku secara menggebu. Bukan soal adikku yang menghilang dari pandanganku, melainkan perasaan ibu.
Ibu membelai penuh sayang kepalaku. “Nak, mana ada orangtua di dunia ini yang menginginkan anaknya berkebutuhan. Pasti kita –sang orangtua berharap sempurna, baik-baik, tak cacat fisik maupun mentalnya. Tetapi ini anugerah dari Tuhan, titipan yang tak patut disia-siakan. Termasuk Bayu, dia anak yang istimewa di keluarga kita,”
Hening menyelimuti atmosfer ruangan. Ucapan ibuku ada benarnya, namun sampai saat ini aku belum bisa memutus daur kebencianku itu. Semua terpatri rapi di sanubari.
Ahh.. bukannya mendapat inspirasi malah semakin tak jelas gumpalan hitam mengawang di pikiran. Mulutku meracau mencemooh Bayu yang begitu istimewa menurut opini ayah dan ibu.
Terdengar raungan keras membelah kesunyian malam. Bak dentuman meriam di tengah kehampaan manusia. Aku terjaga dari alam khayalanku. Bunga tidur yang kuuntai begitu indahnya mendadak lenyap seketika.
Dipan kasur terasa runtuh karena frekuensi suara yang begitu memekakkan telinga. Ah, sudahlah, aku tak peduli lagi perihal tangisan itu. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya aku bisa tidur lagi tanpa ada gangguan yang menghalangi.
Begitu aku ingin memejamkan mata, pikiranku mengawang jauh menembus kegelapan angkasa malam. Teringat tugas yang belum terlaksana. Begitu maha dahsyat sang kuasa mengingatkanku ketika beranjak terlelap.
Bu Ratna meminta murid 93 untuk menceritakan secara sederhana tentang keluarga yang dimilikinya. Aku menimang-nimang pilihan, akankah kuungkapkan kekejaman takdir yang Tuhan uji pada Bayu? Entahlah.
“Argh.. apa yang harus kutulis di atas kertas putih ini!” aku menggerutu sembari meninju pelan kepalaku. Baru sebaris tinta hitam mengukirkan tulisan sudah kucoret dan menggantinya dengan yang baru. Kalau ibu tau, mungkin beliau akan menasehatiku habis-habisan perihal pemborosan yang kulakukan.
Karena tak kunjung menemukan ide tulisan lain, kuuntai seadanya secara lancar kalimat yang tersusun dari otakku. Aku berandai, ibaratnya Bayu terlahir sempurna seperti adik-adiknya temanku, pasti ayah dan ibu tetap adil membagi kasih sayangnya tanpa kurang tanpa cela.
Tanpa sadar aku mengatupkan mataku tak berpikir lagi dimana aku tidur. Sebelumnya kertas putih yang penuh dengan rangkaian kata kupindahkan ke tempat yang lebih aman, supaya aku tidak membentuk pulau di atas situ.
Gema suara adzan terdengar sayup memecah keheningan fajar. Menggetarkan jiwa setiap insan untuk menunaikan kewajiban. Bergegas aku mengambil air wudhu dan menunaikan shalat fardhu, untuk memunajatkan doa pada sang kuasa.
Kokok ayam bersahut-sahutan menyambut mentari. Detik jam terasa begitu cepat di atas pusara waktu. Tak disangka waktu telah menunjukkan pukul 06.00
Aku mengguyurkan tubuh dan langsung mengenakan seragam dengan tergesa. Perutku keroncongan, menahan lapar. Aku menuju ruang makan, tak terlihat satu pun anggota keluargaku.
Sama sekali aku tak memperhatikan suasana dapur yang sepi. Maafkan aku Tuhan yang tak terlalu peduli ini. Aku menyisakan tanda tanya besar di kepala, dimanakah mereka bertiga berada.
“Ibu.. Ibu,” aku berteriak berkeliling ke penjuru ruangan. Tak kutemukan wujud cantik malaikat tanpa sayap itu.
“Ayah.. Ayah,” kuulangi berkali-kali. Namun, pemimpin keluarga kecilku ini tak menampakkan batang hidungnya juga.
Terakhir Bayu. Aku sungkan untuk menyebut namanya. Terlalu banyak dosa yang kuperbuat. Pada akhirnya aku memanggilnya, tak ada jawaban pula.
Kuputuskan untuk menuju ruang makan, nanti akan kulanjutkan lagi melakukan pencarian mereka.
Tertera di atas meja tulisan rapi yang dapat aku kenali,
Untuk anakku yang cantik, Cakrawala Mega
Nak, maaf ya jika pagi nanti kau tak menemukan kami di ruang makan sambil menghidangkan makanan. Bukan maksud kami meninggalkanmu sendiri, tapi semalam kau terlelap dengan begitu nyenyak. Kami tak tega membangunkanmu karena besok juga masih sekolah. Sekali lagi maaf, jika tangisan Bayu sedikit mengganggumu, semalam dia kejang-kejang tak menentu, suhu badannya terlalu tinggi, kami khawatir ada apa-apa dengan adikmu. Percayalah nak, kami menyayangimu sepenuh hati.
Salam cinta,
Ayah dan Ibu
Aku tertegun, rupanya Bayulah sang sumber suara. Kemanakah mereka? Jantungku dipompa lebih cepat dari biasanya. Bayu sedang diuji sakit? Ya Tuhan, apakah karena ini semua akibat dari perbuatanku? Aku terlalu melukai kalbunya. Aku mengoleskan selai cokelat di atas roti yang telah disiapkan dengan lemas. Tanganku terkulai layu.
Sesampainya di sekolah pun sama, aku terus membayangkan isi surat yang ayah dan ibu tujukan padaku. Berkali-kali Bu Ratna menegurku. Lalu aku teringat belum mengumpulkan pekerjaan yang beliau berikan.
“Mega, kumpulkan tugas yang ibu berikan. Dari tadi ibu menegurmu kau tetap saja bermain dengan khayalanmu. Cepat!” Bu Ratna menegurku dengan tegas. Aku akui kesalahanku ini.
Setelah semua terkumpul, Bu Ratna mengoreksi satu persatu pekerjaan muridnya. Sesampainya di tugas milikku, beliau tercekat tanpa banyak komentar. Lalu mengeluarkan bulir bening di pelupuk matanya.
“Mega, kamu berhasil meraih nilai tertinggi untuk tugas ini. Kemarilah, nak” beliau menyerahkan sebuah hadiah berbungkus kertas cokelat yang kemarin dijanjikan. Aku mengucapkan banyak terimakasih dan kembali ke tempat duduk dengan riuh tepuk tangan temanku.
Kriiiing.. bel tanda akhir pelajaran berbunyi. Semua bersorak kegirangan. Namun masih ada yang mengganjal di pikiranku hingga aku tak sesemangat itu.
Istana mungilku terasa sunyi tanpa celoteh Bayu. Banyak sikapku yang tanpa sengaja melukai hati adikku itu.
Aku masuk ke kamar disertai isak tangisan. Terpatri dalam hati beribu janji, ketika Bayu tiba di rumah aku akan meminta maaf padanya dan tak lagi melukai hatinya,
Benar saja, selang beberapa waktu ia datang dengan wajah sumringahnya. Dia berlari memanggil namaku berulang kali. “Kak Me.. gaa” alhamdulillah dia bisa menyebut namaku secara lengkap. Entahlah kuasa Tuhan mana lagi yang tak dapat aku dustakan.
Dia memelukku dan meminta maaf karena telah merepotkanku. Aku mendadak teringat hadiah yang Bu Ratna tadi berikan. “Bayu, kakak punya hadiah untukmu,” dia sumringah menerimanya.
“A..ku ju..ga pun..ya had..diah untuk ka..kak. ini,” dia mengulurkan kertas yang tergulung rapi dengan pita emas. Aku membuka perlahan lalu membaca terbata, begitu sayangkah ia padaku hingga rela membikinkan puisi indah untukku.
“Bagus kan kak?” tanyanya terbata.
Aku tersenyum mengangguk membalas pelukannya. Ayah dan ibu bahagia melihatku damai dengannya. Semoga kebahagian selalu hadir di dalam keluarga kecilku ini
0 comments:
Jangan lupa komen dan share artikel ini ya. thank you