Gerobak Untuk Ayah
Gerobak Untuk Ayah |
Ayahku seorang pemulung. Dia sering memulung di sekitar kompleks perumahan yang berada tak jauh dari pemukiman ruli kami. Ayah seorang yang pekerja keras. Dia tidak malu dengan pekerjaannya. Dia berkata kalau apapun jenis pekerjaan itu jika itu halal, maka rezeki akan ditambahkan kepada kita. Aku sendiri sering bingung, kenapa Ayah bisa berbicara seperti itu dikeadaan keluarga kami yang serba kekurangan ini. Padahal para tetanggaku yang juga seorang pemulung, selalu mengeluh dengan keadaan mereka sekarang ini.
“Arya, kamu sudah siap, nak?” tanya Ayah dengan suaranya yang sangat lembut dan selalu membuatku tersenyum.
“Sudah, Yah.” Ucapku sambil membersihkan baju putih-biruku yang agak kotor dan usang.
“Sudah, Yah.” Ucapku sambil membersihkan baju putih-biruku yang agak kotor dan usang.
Aku segera berjalan ke pintu depan menghampiri Ayah. Aku tersenyum ke arahnya yang dibalas dengan senyumnya juga. Ayah mengelus rambutku lembut lalu mencium keningku. Kehangatan yang selalu kudapatkan dari seorang Ayah sejati.
“Sudah hampir jam 7, kamu harus berangkat ke sekolah sebelum telat.” Ujar Ayah. Aku mengangguk lalu menyalam tangannya. Lalu Ayah menyandang karung goninya di pundak dan mengambil alat pengait untuk membantu kegiatan memulungnya. Terkadang aku kasihan melihat Ayah yang seperti ini. Ayah masih memulung dengan karung goni. Hasilnya pun seadanya. Dulu, Ayah punya gerobak. Tapi gerobak itu sudah rusak karena ditabrak truk.
“Ayah, aku gak usah sekolah ya, aku bantu Ayah mulung aja. Hasilnya ‘kan lumayan buat makan besok.” Aku mengambil karung goni dan alat pengait.
“Jangan, Arya. Kamu sekolah aja. Kamu harus jadi anak yang berpendidikan, jangan seperti Ayah.” Ayah melepaskan karung goni dan alat pengait itu, lalu meletakkannya kembali ke tempat semula.
“Arya, kamu harus janji sama Ayah, kamu harus jadi orang hebat. Kamu harus bisa banggain Ayah. Kamu harus jadi orang yang berguna. Jangan seperti Ayah. Beli gerobak saja, Ayah tidak mampu. Bahkan, untuk makan saja terkadang ada terkadang tidak.” Ayah menatapku lekat-lekat. Membuatku semakin ingin menjadi orang sukses dan belajar lebih giat lagi. Aku juga harus membuat Ibu yang ada di surga senang melihatku.
“Kalau gitu, aku berangkat sekolah dulu ya, Yah.” Aku kembali menyalam punggung tangan Ayah yang sudah tak mulus lagi. Aku menatap wajahnya yang sudah agak keriput dan ubanan.
“Aku sayang Ayah.” Aku memeluk Ayah erat-erat. Bau sampah dari baju kumuh Ayah dapat kucium. Tapi bagiku itu bukanlah bau sampah, melainkan bau hasil kerja keras yang halal.
“Ayo cepetan kamu pergi sekolah. Nanti telat lho.” Kata Ayah setelah melepas pelukan kami. Aku mengangguk.
“Jangan, Arya. Kamu sekolah aja. Kamu harus jadi anak yang berpendidikan, jangan seperti Ayah.” Ayah melepaskan karung goni dan alat pengait itu, lalu meletakkannya kembali ke tempat semula.
“Arya, kamu harus janji sama Ayah, kamu harus jadi orang hebat. Kamu harus bisa banggain Ayah. Kamu harus jadi orang yang berguna. Jangan seperti Ayah. Beli gerobak saja, Ayah tidak mampu. Bahkan, untuk makan saja terkadang ada terkadang tidak.” Ayah menatapku lekat-lekat. Membuatku semakin ingin menjadi orang sukses dan belajar lebih giat lagi. Aku juga harus membuat Ibu yang ada di surga senang melihatku.
“Kalau gitu, aku berangkat sekolah dulu ya, Yah.” Aku kembali menyalam punggung tangan Ayah yang sudah tak mulus lagi. Aku menatap wajahnya yang sudah agak keriput dan ubanan.
“Aku sayang Ayah.” Aku memeluk Ayah erat-erat. Bau sampah dari baju kumuh Ayah dapat kucium. Tapi bagiku itu bukanlah bau sampah, melainkan bau hasil kerja keras yang halal.
“Ayo cepetan kamu pergi sekolah. Nanti telat lho.” Kata Ayah setelah melepas pelukan kami. Aku mengangguk.
Sekolahku bukannlah sekolah yang bagus. Bukan sekolah bagi orang-orang berada. Ya, hanya sekolah biasa. Tapi derajatku sebagai “anak seorang pemulung” sering diolok-olok oleh beberapa teman-temanku. Tapi aku tidak marah pada mereka. Mereka mengatakan hal yang benar. Dan aku bangga punya seorang Ayah pemulung namun pekerja keras dan mendapatkan uang yang halal.
“Arya!” seseorang memanggilku dari arah kantin. Bu Halimah, salah satu pedagang di kantin sekolah terlihat sedang melambai-lambai ke arahku. Aku segera menghampiri wanita paruh baya itu.
“Ada apa, Bu?” tanyaku pada Bu Halimah. Bu Halimah tampak sedang sibuk dengan kerupuk yang dia masukkan ke dalam plastik.
“Kamu bisa bantu Ibu lagi gak? Ibu lagi sibuk banget ini. Tolong bantu ibu masukin kerupuk-kerupuk ini ke dalam plastik ya, nanti upahnya Ibu kasih, sama upah-upah yang kemarin.” Ujar Bu Halimah. Aku senang sekali mendengarnya. Dengan cepat aku mengangguk dan membantu Bu Halimah.
“Ada apa, Bu?” tanyaku pada Bu Halimah. Bu Halimah tampak sedang sibuk dengan kerupuk yang dia masukkan ke dalam plastik.
“Kamu bisa bantu Ibu lagi gak? Ibu lagi sibuk banget ini. Tolong bantu ibu masukin kerupuk-kerupuk ini ke dalam plastik ya, nanti upahnya Ibu kasih, sama upah-upah yang kemarin.” Ujar Bu Halimah. Aku senang sekali mendengarnya. Dengan cepat aku mengangguk dan membantu Bu Halimah.
Aku memang sering membantu Bu Halimah di kantin. Entah itu membantu mencuci piring, memasukkan kerupuk-kerupuk ke plastik, membantu melayani pembeli, apapun itu aku lakukan. Kegiatan ini sudah kutekuni lebih dari 5 bulan belakangan. Cukup lama memang, tapi upahnya belum aku ambil. Nantinya upah itu akan aku belikan gerobak untuk Ayah. Supaya Ayah bisa memulung lebih banyak barang dan tidak capek karena harus memikul karung.
Setelah 10 menit kemudian,
Kriiiing…
Bel tanda masuk berbunyi bersamaan dengan selesainya kerupuk yang kumasukkan ke dalam plastik.
“Bu, sudah bel masuk. Kerupuknya juga sudah dimasukkan semua. Saya ke kelas ya.” Pamitku.
“Tunggu sebentar nak Arya.” Bu Halimah menahan langkahku. Lalu beliau kembali dengan 5 lembar uang 50.000an.
“Ini buat kamu. Semoga berguna ya. Kamu mau pakai uangnya untuk beli gerobak Ayah kamu kan?” Bu Halimah memberi uang tersebut kepadaku. Aku memegangnya. Tanganku rasanya gemetar ketika memegang uang tersebut. Tidak pernah aku memegang uang sebanyak itu. Ini baru yang pertama kalinya.
Kriiiing…
Bel tanda masuk berbunyi bersamaan dengan selesainya kerupuk yang kumasukkan ke dalam plastik.
“Bu, sudah bel masuk. Kerupuknya juga sudah dimasukkan semua. Saya ke kelas ya.” Pamitku.
“Tunggu sebentar nak Arya.” Bu Halimah menahan langkahku. Lalu beliau kembali dengan 5 lembar uang 50.000an.
“Ini buat kamu. Semoga berguna ya. Kamu mau pakai uangnya untuk beli gerobak Ayah kamu kan?” Bu Halimah memberi uang tersebut kepadaku. Aku memegangnya. Tanganku rasanya gemetar ketika memegang uang tersebut. Tidak pernah aku memegang uang sebanyak itu. Ini baru yang pertama kalinya.
Pulang sekolah aku langsung pergi ke tempat Pak Man, seorang tukang kayu. Aku harap Pak Man bisa membuat gerobak. Setelah berbincang-bincang pada Pak Man, akhirnya Pak Man setuju akan membuatkan gerobak dan diupahi sebesar 250.000,-
5 hari sudah berlalu. Pak Man janji gerobaknya akan selesai dalam waktu 5 hari. Sepulang sekolah, aku langsung ke tempat Pak Man. Dan aku melihat sebuah gerobak yang terpampang di teras rumah Pak Man.
“Ini gerobak untuk Ayah kamu, Arya.” Pak Man merangkul pundakku. Aku berdecak kagum melihat hasil akhir gerobaknya. Jauh lebih bagus daripada perkiraanku.
“Terimakasih, Pak Man.” Aku memeluk Pak Man erat. Pak Man membalas pelukanku.
“Ini gerobak untuk Ayah kamu, Arya.” Pak Man merangkul pundakku. Aku berdecak kagum melihat hasil akhir gerobaknya. Jauh lebih bagus daripada perkiraanku.
“Terimakasih, Pak Man.” Aku memeluk Pak Man erat. Pak Man membalas pelukanku.
“Ayah” panggilku dari depan rumah. Aku membawa gerobak tersebut di belakangku. Setelah beberapa detik, aku mendengar Ayah menyahut dari dalam rumahku yang kumuh dan beliau tampak terkejut melihat aku yang membawa gerobak.
“Ayah, ini gerobak untuk Ayah. Semoga berguna dan dapat membantu Ayah kalau mulung nanti.” Ucapku. Ayah terdiam di tempat. Dia tampak tak percaya dengan apa yang dia lihat. Sudah lebih dari 2 tahun Ayah ingin sekali membeli gerobak. Tapi selalu saja dihalangi oleh krisis ekonomi. Dan sekarang, aku berhasil mengambulkan permintaan Ayah.
Mata Ayah nampak berkaca-kaca. Aku takut. Aku takut kalau Ayah tidak suka dengan gerobak ini.
“Ayah, ini gerobak untuk Ayah. Semoga berguna dan dapat membantu Ayah kalau mulung nanti.” Ucapku. Ayah terdiam di tempat. Dia tampak tak percaya dengan apa yang dia lihat. Sudah lebih dari 2 tahun Ayah ingin sekali membeli gerobak. Tapi selalu saja dihalangi oleh krisis ekonomi. Dan sekarang, aku berhasil mengambulkan permintaan Ayah.
Mata Ayah nampak berkaca-kaca. Aku takut. Aku takut kalau Ayah tidak suka dengan gerobak ini.
“Ayah kenapa nangis? Ayah gak suka ya dengan gerobaknya? Maaf ya, Ayah.” Aku langsung memeluk Ayah. Tangis Ayah pecah. Aku semakin takut.
“Terimakasih, nak. Kamu memang anak yang baik.” Ayah mengelus rambutku. Aku lega karena Ayah suka dengan gerobak baru itu. Aku tahu tangis Ayah adalah tangis bahagia.
“Terimakasih, nak. Kamu memang anak yang baik.” Ayah mengelus rambutku. Aku lega karena Ayah suka dengan gerobak baru itu. Aku tahu tangis Ayah adalah tangis bahagia.
TAMAT
0 comments:
Jangan lupa komen dan share artikel ini ya. thank you