Hujan Sebuah Realita

Hujan Sebuah Realita
Hujan Sebuah Realita

Di negara kita memang hanya mengenal dua musim, hujan dan kemarau. Kalau gak hujan ya panas pastinya. Panggil saja gue Mul, gue tinggal di desa di salah satu kabupaten di Jawa Barat. Kehidupan di desa itu gampang-gampang susah, enak-enak enggak. Kenapa? hidup di desa itu asyik loh, apalagi desa gue termasuk dataran tinggi (bisa dibilang gunung lah) dan pasti sehat kalau di desa (ya itu juga kalau pola hidupnya sehat).

Gue tinggal di sini emang udah dari lahir, jadi kalau ada yang nanya, “Kok lo mau sih tinggal tempat gitu?” Ya udah gimana lagi udah dari sananya. Memang sih desa gue ini bukan desa tertinggal pembangunan udah ada cuman belum merata. Akses jalan udah bagus dengan adanya program dari pemerintah. Gang-gang udah bagus gak kayak dulu. Tapi gang ke rumah gue ini kecil terus dibumbui dengan turunan dan tanjakan kemudian dihiasi sawah di sisi kiri dan kanannya, dan kalau hujan turun pasti jalannya itu licin.

Ngomong-ngomong soal hujan, waktu gue kecil punya pengalaman yang kurang mengenakan soal hujan. Bukan karena gue gak suka hujan atau benci hujan, justru gue suka banget sama yang namanya hujan-hujanan. Tapi karena tubuh gue saat itu gampang sakit, jadi keadaanlah yang melarang tubuh ini melangkah menuju hujan. Gak kayak anak lain, mereka kalau hujan turun langsung buka baju lari-lari penuh semangat. “Mul hayu geuwat buka baju,” (Mul ayo cepet buka baju) salah satu temen gue manggil.
“Moal ah sieun udur,” (nggak ah takut sakit) balas gue. Akhirnya gue hanya nonton mereka yang lagi hujan-hujanan.
“Haha… haha…” riuh suara ketawa anak-anak lagi hujan-hujanan.

Akhirnya suatu sore langit mulai mendung, dan benar hujan pun turun dengan derasnya. Seperti biasa anak-anak mulai beraksi, menikmati dinginnya air hujan.
“Mah, Mul wios huhujanan?” (Mah, Mul boleh gak hujan-hujan) izin gue.
“Rek nanaonan aah aya-aya wae, cicing di imah,” (mau ngapain aah ada-ada aja, diem di rumah) jawab mamah gue. Karena udah gak tahan pengen nimbrung bareng yang lain, akhirnya gue lepas baju dan langsung lari ke gerombolan anak-anak yang lagi maen air.
“Mul masih maneh huhujanan?” (Mul tumben kamu hujan-hujanan?) tanya temen gue.
“Keur hayang we,” (lagi mau aja) jawab gue. Sore itu gue bahagia banget kayak ngerayain ulang tahun (ulang tahun temen tapi bukan gue).

Pucuk dicinta ulam pun tiba malem harinya keadaan badan gue panas pake banget. “Padahal huhujanan karek sakali,” (Padahal hujan-hujanan baru sekali) dalam hati. Akhirnya seminggu kedepan gue gak ke luar rumah, gak ke sekolah karena sakit. Yang repot bukan gue aja tapi sekeluarga ikut kerepotan. Duuh gara-gara sekali doang padahal. Alhasil besok paginya gue dianter sama orangtua ke dokter buat berobat di sebuah klinik. Dokter ini uda jadi dokter tetap keluarga gue, gak tau kenapa bapak gue dari dulu ke dokter ini. Suasana di klinik ini sungguh buat gue jenuh, memang sih di samping klinik ada tempat main buat anak-anak tapi kalau lagi sakit gini apa daya gue tak sanggup.

Setelah sekitar 15 menitan menunggu akhirnya dipanggil juga buat diperiksa sama dokternya.
“Saudara Mul silahkan,” panggil susternya. Terus gue sama orangtua masuk ke ruang periksa, terus dokternya nanya yang aneh-aneh. “Dek Mul udah punya pacar belum?” tanya dokter. Tapi gue diem aja sedang menikmati dinginnya stetoskop di dada gue. “Gue kan baru 7 tahun,” dalam hati. Sungguh ya tuh dokter.

Selesai diperiksa kita nunggu dulu buat ngambil obat. Habis itu kita pulang ke rumah, dan sesampainya di rumah gue makan dan makan obat deh. Cuus istirahat dengan tenang dan tidur dengan nyenyak. Dan dalam tidurnya gue mimpi yang indah, mimpi sedang maen air hujan bareng anak-anak yang lain. Di mimpi itu gue maen air, lempar-lemparan lumpur sampai maen perosotan di tanah. Duuh senengnya. Tapi ya apa daya itu hanyalah sebuah mimpi, dan kenyataannya kalau itu terjadi ya gue pasti sakit.

Tamat

0 comments:

Jangan lupa komen dan share artikel ini ya. thank you

Copyright © 2013 REAL ARTICEL